Dalam 3 minggu terakhir sejak akhir bulan Nopember 2006 realitas yang terjadi di pasar adalah perilaku konsumen yang sebaliknya. Kepanikan masyarakat semakin menjadi di wilayah kota-kota besar di Indonesia, saat harga beras telah melambung tinggi – yang belum pernah dialami dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Harga beras, sebagaimana dilaporkan oleh BPS, mulai merangkak naik sejak akhir Nopember 2006. Harga beras untuk masyarakat golongan berpendapatan rendah jenis IR-64 telah naik dari Rp5.193 per kg menjadi Rp 5.450 per kg pada minggu pertama Desember berikutnya, atau suatu tingkat kenaikkan mendekati 5%.
Kenaikan ini merupakan kenaikkan rata-rata nasional, sehingga yang terjadi di kota-kota tertentu rekaman perkembangnnya dapat lebih tinggi lagi. Terbukti sebagaimana dilaporkan oleh Kompas pada tanggal 14 Desember 2006, kenaikkan harga beras mutu sedang selama dua minggu saja telah melonjak 28% di Cirebon dan 25% di Tasikmalaya. Kekurangan pasokan dan kenaikkan harga juga dilaporkan oleh para pedagang beras di berbagai kota di tanah air, seperti di Palembang, Medan, Magelang, Semarang, Solo dan kota-kota ukuran sedang lainnya.
Pertanyaan berikut yang muncul ke permukaan adalah mengapa hal ini dapat terjadi?
Keseimbangan dan Lonjakan Harga Pasar
Secara telaah ilmiah dengan menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, harga di pasar akan ditentukan oleh kekuatan permintaan konsumen dan kekuatan pasokan dari para produsen. Kelompok konsumen terdiri dari konsumen rumahtangga dan konsumen kelembagaan. Kelompok konsumen rumahtangga merupakan pengelompokkan nieche market yang ada di Indonesia yang terdiri dari keluarga miskin, keluarga masyarakat kebanyakan dan keluarga kaya. Sedangkan konsumen kelembagaan terdiri dari pedagang beras, pengelola rumah sakit, hotel, rumah penjara, dan pesantren. Dari segi pasokan, mereka terdiri dari produsen petani gurem, produsen petani kaya, dan distributor kelembagaan seperti Bulog, pedagang grosir dan koperasi desa.
Mengapa kita perlu membagi-bagi konsumen dan produsen di atas seperti demikian? Konsumen perlu di pilah-pilah seperti di atas karena masing-masing kelompok memiliki sensitifitas terhadap perubahan harga di pasar. Konsumen rumah tangga miskin, pengelola pesantren, dan pengelola rumah penjara akan memiliki tingkat sensitif yang berbeda pada pola perubahan harga beras di pasar dibandingkan dengan kelompok-kelompok konsumen lainnya. Mereka biasanya akan menjadi target perhatian dari Pemerintah dalam menanggulangi dampak gejolak harga di pasar. Selanjutnya diperkirakan kekuatan pemasokan yang dilakukan oleh produsen petani gurem tidak akan sebegitu dominan dibandingkan dengan kekuatan pelaku produsen petani kaya. Mereka umumnya hanya memiliki luasan areal tanaman padi yang terbatas. Implikasinya kemudian jika terjadi kelangkaan di pasar, maka tudingan langsung pada sumber biang keladi permasalahan lonjakan harga beras tentunya berada di tangan pelaku produsen petani kaya atau pada distributor kelembagaan.
Stabilitas harga beras di pasar akan terselenggara dengan berjalannya mekanisme pasar dari kekuatan permintaan dan kekuatan pasokan. Dalam komoditi beras, keseimbangan harga perlu ditinjau dalam periode jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, ambil contoh 1 sampai 2 tahun, kekuatan pasokan akan lebih banyak mendominir kemungkinan anomali perubahan harga beras di luar jalur normal. Kekacauan harga pasar beras di Indonesia baru-baru ini lebih disebabkan oleh kurangnya pasokan dari para pedagang grosir dan produsen petani kaya. Apalagi dengan adanya kekosongan persediaan beras pada tingkat yang aman di gudang-gudang persediaan Bulog maka lonjakan yang dahsyad di pasar dapat terjadi kapan saja.
Dalam jangka panjang, untuk periode lebih dari 3 tahun, kekuatan permintaan akan mempengaruhi keseimbangan harga yang ada. Kekuatan permintaan ini dapat muncul akibat kenaikkan konsumsi konsumen rumahtangga dan konsumen kelembagaan. Kenaikan harga di pasar yang tercetus dari kenaikkan permintaan alamiah (misalnya, akibat kenaikkan jumlah anggota rumah tangga) tidak akan meningkat sedrastis dibandingkan dengan dampak kekuatan yang dipicu oleh kekurangan pasokan beras di pasar bebas. Anomali dari segi permintaan akan terjadi jika pada satu saat tertentu terjadi kepanikan konsumen, seperti misalnya akibat dari peristiwa huru hara sosial menyusul kejatuhan Pemerintahan Orde Baru.
Mekanisme harga pasar yang kita bicarakan diasumsikan terbentuk akibat mekanisme pasar bebas. Tetapi mengingat komoditi beras ini merupakan komoditi stratejik, Pemerintah kemudian berperan dalam mematok batas harga teratas yang mungkin dapat diterima masyarakat pada satu periode tertentu. Sayangnya informasi harga patokan tersebut kurang disebarluaskan pada masyarakat. Para pedagang beras menaksir harga beras termahal yang dapat diterima oleh konsumen mencapai Rp, 4200 per kg dan yang termurah Rp 3,800 per kg. Dengan kisaran ini maka harga eceran yang melewati batas atas Rp. 5000 per kg, seyognyanya sudah merupakan signal bagi Bulog untuk segera melakukan operasi pasar.
Upaya mengguyur 50,000 ton beras melalui proses “mekanisme operasi pasar”, ternyata baru dilakukan pada minggu kedua bulan Desember di 7 wilayah Propinsi di Indonesia. Kegiatan ini akan dilanjutkan Pemerintah sampai dengan perkiraan pada bulan Maret tahun 2007, karena sekitar bulan April diharapkan pasokan padi di lumbung-lumbung penyimpanan desa akan meningkat kembali.
Memang terlihat disini mekanisme penyesuaian harga beras di pasar berjalan begitu sederhana. Tetapi jika tidak diantisipasi pergerakannnya oleh para pelaku ekonomi di pasar, bukan tidak mungkin ancaman yang tidak sederhana masih akan sering terjadi di kemudian hari. Antisipasi pergerakan ini masih perlu dicermati, antara lain dengan mempelajari dan memahami berbagai faktor yang merupakan trigger (pendorong) kelangsungan kegiatan konsumsi dan kegiatan pasokan komoditi beras.
Trigger Faktor Penentu Permintaan
Faktor-faktor penentu pergerakan kegiatan konsumsi beras di masyarakat cukup banyak. Tetapi faktor-faktor berikut paling tidak sudah merupakan alasan bagi pemicu kenaikkan volume permintaan konsumsi beras di pasar.
1. Tingkat pendapatan:
Tingkat pendapatan konsumen sudah pasti akan mempengaruhi pola permintaan dan reaksi yang diberikan apabila terjadi lonjakan harga. Rumahtangga konsumen berpendapatan rendah akan sangat sensitif atas perkembangan harga terendah dari jenis beras IR-64. Keluarga miskin dengan 4 sampai dengan 6 anak akan menghabiskan 2 kg beras dalam satu harinya; sehingga setiap hari pada masa stabil ibu rumahtangga tersebut harus menyediakan dana Rp 8,000 per hari. Saat ini dengan harga yang membumbung tinggi menjadi Rp 5000 per harinya, keluarga ini harus menyisihkan anggaran belanja rumah tangga yang sangat terbatas sejumlah Rp 10,000 per harinya, atau Rp 300,000 per bulan hanya untuk beras saja. Dengan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 650,000 per bulan maka taraf hidup mereka akan semakin merana, dan terjebak dalam jurang kemiskinan.
Beralasanlah jika kelompok keluarga miskin yang jumlahnya jutaan orang di Indonesia mendambakan stabilitas harga beras Karena keterbatasan pendapatan, elastisitas harga yang dimiliki keluarga miskin cenderung lebih elastis dibandingkan dengan kelompok rumah tangga lainnya. Sedangkan sensitifitas harga bagi konsumen lembaga dan konsumen lainnya diperkirakan tidak banyak terpengaruh.
2. Jumlah penduduk:
Pertambahan jumlah penduduk satu wilayah dapat mempengaruhi pola kebutuhan konsumsi beras di daerah tersebut. Dalam kaitan ini, pertambahan jumlah penduduk (secara alamiah) baru akan memberikan pengaruhnya pada peningkatan konsumsi beras dalam jangka panjang. Sedangkan pengaruh yang cukup tinggi dan segera akan dirasakan apabila wilayah tadi menerima kiriman pendatang para pekerja migran yang cukup tinggi jumlahnya.
3. Selera konsumen:
Selera konsumen sudah pasti akan sangat berpengaruh pada jenis beras yang dikonsumsi, terutama yang terjadi pada kelompok rumah tangga masyarakat kebanyakan dan kelompok rumah tangga kaya.Kelompok rumah tangga kebanyakan akan mengkonsumsi beras jenis kualitas sedang, yang harganya pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kualitas rendah.
Tidaklah mengherankan apabila kedai-kedai supermarket menjual berbagai jenis beras dengan perbedaan yang mencolok untuk kualitas yang dijualnya. Misalnya saja amati perbedaan harga beras per 10kg yang di jual di supermarket Giant-Depok pada akhir minggu ketiga bulan Desember 2006 berikut ini: Cianjur slyip Giant Rp.60,000; Giant rojolele Rp 65,000; Giant Pandanwangi special Rp.70,000; Sentra Ramos cap Topi Koki Rp. 72,245; Sentra Ramos super cap Dewi Sri Rp 77,595; Pandaanwangi cap Walet Rp. 82,175; Pandan wangi long grain cap Ayam Jago Rp.84,550; Pandanwangi jasmine cap Ayam Jago Rp.91,985 dan Long grain crystal si Pulen Pandanwangi Rp. 98,925. Dengan rentan perbedaan harga sebanyak dua kali lipat dari harga beras raskin IR-64, masih ada saja kelompok konsumen perkotaan yang mampu dan tidak mengurangi komsumsi beras kualitas mewahnya yang tersedia di pasaran.
Trigger Faktor Penentu Pasokan
Berbeda dengan trigger kegiatan konsumsi beras yang jumlahnya hanya beberapa faktor maka trigger pergerakan volume pasokan beras di pasar cukup banyak faktor penentunya. Berikut adalah faktor-faktor penentu naik turunnya volume pasokan beras di pasar:
>1. Harga pasar yang kompetitif:
Harga pasar yang kompetitif merupakan faktor penentu bagi para petani padi untuk melakukan kegiatan investasinya. Pengaruh harga komoditi gabah yang terkikis oleh biaya rente pemasaran gabah dan beras yang tinggi di daerah pedesaan, akan mempengaruhi pola sensitifitas produksi yang dilakukan oleh produsen petani klas gurem. Beban biaya hidup sehari-hari mereka yang berat ditambah dengan kondisi kepemilikan lahan pertanian yang kecil dan terbatas, seluruhnya akan sangat mempengaruhi keputusan bercocok tanam padi dari para petani gurem pada awal periode musim tanam.
2. Harga beras impor:
Harga beras impor yang murah dan bersaing dari negara-negara tetangga lainnya akan merupakan faktor disinsentif bagi para petani padi di Indonesia. Oleh karena itu hanya dengan lontaran isu bahwa Pemerintah akan mengimpor beras dari luar negeri dalam jumlah banyak sudah cukup memberikan dorongan bagi para petani padi untuk melakukan pengajuan keberatan. Jika masalahnya tidak tertangani bukan tidak mungkin mereka akan melakukan konversi areal tanaman padinya pada kegiatan penanaman tanaman pertanian lainnya selain padi. Kebijakan impor beras yang dibuka oleh Pemerintah akan semakin mendorong terjadinya kemelut kekurangan stok beras dalam jangka panjang.
3. Kondisi curah hujan:
Negara kita merupakan wilayah dengan besaran dan luasan curah hujan yang berbeda. Akibatnya produktivitas tanaman padi per ha akan juga memiliki keragaman dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Secara rata-rata produksi padi per ha di tanah air adalah satu juta ton per bulan, untuk areal persawahan yang memiliki sistem irigasi teknis kelas satu.
4. Perubahan iklim:
Dalam beberapa tahun musim tanam, iklim di lokalitas-lokalitas tempat produksi padi akan mengalami perubahan. Perubahan iklim cuaca Indonesia yang didorong oleh perubahan suhu udara di lingkungan luar alam jagad raya telah merubah siklus musim kering di hampir seluruh lokalitas pelosok tanah air. Pada tahun ini kita mengalami perlambatan musim tanam akibat panjangnya musim kemarau. Dan kita lihat sendiri akhir-akhir ini bagaimana pergeseran awal musim tanam padi yang terlambat beberapa bulan telah mempengaruhi kemelut kondisi stok beras nasional yang dikelola oleh Bulog. Sayangnya karena akibat kekurang mampuanPemerintah mengkoordinasikan urusan manajemen logistik beras, maka Bulog terlambat memupuk cadangan beras di gudang-gudang mereka.
5. Luas areal pertanian yang dimiliki petani:
Kondisi pasokan beras di tanah air secara berangsur diperkirakan akan terancam keberlanjutannya apabila luas areal pertanian yang dimiliki petani menyusut terus. Menurut hasil Sensus Pertanian, jumlah petani Indonesia dalam kurun waktu 1983-2003 telah menurun dalam kepemilikan lahannya. Secara rata-rata lahan pertanian yang dimiliki petani rakyat telah menurun drastis dari 1,30ha menjadi 0,70ha per petani. Dengan jumlah areal pertanian yang semakin sempit tidak menungkinkan bagi produsen petani gurem meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya.
6. Faktor-Faktor Mikroekonomi Kepengusahaan:
Faktor-faktor mikro ekonomi kepengusahaan tanaman padi yang cukup penting dalam mempengaruhi produktivitas adalah beberapa faktor berikut: (a) harga dan penggunaan pupuk; (b) penggunaan pestisida; dan (c) ketersediaan saluran irigasi sawah, fasilitas pengering dan areal lumbung yang memiliki sanitasi yang baik dan sehat.
Ancaman penurunan produktivitas padi diperkirakan akan terjadi pada musim panen tahun 2007 karena pengaruh kenaikkan harga pupuk dan obat antiserangga yang mencapai 20% dalam satu bulan terakhir. Apalagi dengan rentannnya lonjakan harga internasional minyak bumi maka potensi ancaman ini akan semakin menghadang di masa datang. Antisipasi kebijakan Pemerintah sangat diperlukan. Perbaikan sistem irigasi tersier di areal-areal persawahan subur dan produktif perlu mendapatkan prioritas alokasi anggaran dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari uraian mengenai faktor-faktor penentu perubahan kondisi pasokan beras di tanah air ini maka semakin jelas masalah ketersediaan bahan pangan nasional aperlu dibenahi agar dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak perubahan harga di masa datang. Dalam mengantisipasi kemungkinan ini maka Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya nyata di lapangan untuk membenahi manajemen stok pengadaan beras berikut cara distribusinya yang cepat dan efisien, khususnya pada saat-saat terjadi gejolak ketidak seimbangan.
Mekanisme operasi pasar perlu diperbaiki dengan mengimplementasikan Informasi Teknologi di seluruh kantor dinas perdagangan di daerah yang dapat digunakan untuk memonitor posisi stok beras dan memantau perkembangan pasar. Revitalisasi perkebunan yang sedang disiapkan Pemerintah Pusat perlu dibarengi pula dengan upaya merevitalisasi areal kepengusahaan padi bagi kepentingan kebanyakan produsen petani rakyat. Pemerintah perlu segera mencadangkan dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk melakukan operasi pasar pembelian gabah kering dan beras dari petani rakyat pada puncak panen raya mereka pada bulan-bulan Maret sd Mei mendatang. Target pengadaan Bulog pada saat panen raya sebanyak 60% perlu ditingkatkan lagi jika tidak ingin Pemerintah mengulangi kesalahan yang sama – yaitu mengimpor beras dari luar negeri dengan dampak negatif pengikisan kemandirian dan ketahan pangan pada periode jangka panjang.(copyright@aditiawanchandra)
0 komentar:
Posting Komentar